Belakangan ini, sejumlah pihak kerap menuding Perikatan Nasional (PN) mengobarkan sentimen etnis untuk memenangkan undian jelang Pemilihan Umum (PRN) yang akan segera digelar.
Tuduhan semacam itu bukanlah hal baru. Sudah lama PN difitnah sebagai batu api dalam memainkan isu “3R” yaitu raja, ras dan agama.
Bedanya, sebelumnya tudingan itu umumnya datang dari partai-partai seperti DAP, partai yang didominasi etnis Tionghoa, dan bukan dari masyarakat Melayu itu sendiri.
Namun kini PN menghadapi serangan terus-menerus tidak hanya dari partai-partai seperti DAP, tetapi juga para pemimpin Melayu dan pengikutnya dalam pemerintahan bersatu yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim.
Bagi saya, serangan semacam ini hanyalah taktik para pendukung pemerintah bersatu untuk mengalihkan perhatian dari masalah ekonomi negara yang semakin berlumpur.
Seperti diketahui, perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih dari wabah Covid-19.
Berbagai janji ekonomi yang dilontarkan Anwar sebelum penunjukan perdana menteri, seperti penurunan harga minyak, hingga kini belum terpenuhi dan diperkirakan tidak akan terpenuhi.
Penurunan tajam nilai ringgit mengakibatkan kenaikan harga yang tajam karena Malaysia merupakan importir berbagai kebutuhan sehari-hari termasuk makanan.
Sekarang, US$1 telah mencapai RM4,68. Apakah akan segera mencapai RM5?
Yang paling terkena dampak fenomena kenaikan harga barang adalah masyarakat Melayu yang merupakan kelompok terbesar di segmen B40.
Banyak orang yang masih tinggal di pemukiman, tidak hanya di desa atau dusun, tetapi di tengah kota seperti Kuala Lumpur yang biaya hidupnya jauh lebih tinggi.
Para eksportirlah yang diuntungkan dengan naik turunnya mata uang lokal yang sebagian besar bukan dari masyarakat Melayu.
Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan dengan keputusan Bank Negara Malaysia menaikkan suku bunga dasar semalam (OPR).
Keputusan ini tidak hanya mempengaruhi orang biasa tetapi memiliki efek limpahan negatif pada perekonomian secara keseluruhan.
Bagi masyarakat khususnya yang memiliki pinjaman dengan bank, mereka harus membayar cicilan bulanan yang lebih tinggi atau memperpanjang jangka waktu pinjaman.
Mengapa pemerintah menutup telinga terhadap permohonan dan rintihan rakyat tentang biaya hidup yang terus meningkat sehingga mereka dapat menambah beban keuangan mereka?
Alasan pemerintah untuk meningkatkan OPR untuk menstabilkan mata uang lokal tidak langsung masuk akal karena ringgit terus turun.
Banyak bisnis juga meneruskan kenaikan biaya operasional akibat kenaikan OPR, kepada konsumen. Akibatnya, kelompok B40 dan M40 pun ikut menjadi korban.
Singkatnya, situasi ekonomi negara sangat tegang. Lebih buruk lagi, pemerintah Madani tampaknya tidak memiliki “rencana permainan” untuk memperbaiki keadaan.
Ini berbeda dengan era Dr Mahathir Mohamad yang berencana mematok US$1 hingga RM3,80 pada 1998.
Atau inisiatif di bawah kepemimpinan Muhyiddin Yassin yang melakukan berbagai rencana dan inisiatif untuk memulihkan dan menggerakkan perekonomian yang terpukul parah akibat pandemi Covid-19.
Sementara itu, Anwar yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan lebih sibuk dengan menghadiri acara-acara seperti dialog dengan kejaksaan Institut Pendidikan Tinggi (IPT) menjelang Pemilihan Umum Negara (PRN).
Sebagai menteri keuangan, dia harus memusatkan perhatian penuh pada masalah ekonomi, terutama yang berdampak langsung pada rakyat.
Masalah seperti inflasi, pengangguran kaum muda dan biaya hidup masih belum memiliki solusi jangka panjang.
Untuk menutupi kelemahan tersebut, Anwar dan pasukan sibernya berusaha mengalihkan perhatian publik dengan menuduh PN bermain dengan sentimen 3R untuk memenangkan undian.
Rata-rata masyarakat Melayu tidak pernah menghalangi orang non-Melayu untuk menjalankan budaya dan agamanya.
Seringkali batu api adalah partai seperti DAP dengan slogan “Malaysian Malaysia”.
Jadi jelas sikap rasis PN bukan hanya salah, itu hanya upaya manajemen Anwar untuk menutupi kelemahan Perdana Menteri yang gagal menggerakkan ekonomi negara yang sedang ambruk.
Shukor Abdul Rahman adalah pembaca MalaysiaNow.
* Artikel ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan MalaysiaNow.